Alat Musik Rebab
Alat
musik tradisonal rebab adalah jenis alat musik yang di gesek dan mempunyai tiga atau dua utas tali dari dawai
logam (tembaga) ini badannya menggunakan kayu nangka dan berongga di bagian
dalam ditutup dengan kulit lembu yang dikeringkan sebagai pengeras suara.
Alat ini juga digunakan sebagai pengiring gamelan, sebagai pelengkap untuk mengiringi sinden bernyanyi bersama-sama dengan kecapi. Dalam gamelan Jawa, fungsi rebab tidak hanya sebagai pelengkap untuk mengiringi nyanyian sindhen tetapi lebih berfungsi untuk menuntun arah lagu sindhen. sama juga yang di pake tradisi musik sunda.
Sebagai salah satu dari instrumen pemuka, rebab diakui sebagai pemimpin lagu dalam ansambel, terutama dalam gaya tabuhan lirih. Pada kebanyakan gendhing-gendhing, rebab memainkan lagu pembuka gendhing, menentukan gendhing, laras, dan pathet yang akan dimainkan. Wilayah nada rebab mencakup luas wilayah gendhing apa saja. Maka alur lagu rebab memberi petunjuk yang jelas jalan alur lagu gendhing. Pada kebanyakan gendhing, rebab juga memberi tuntunan musikal kepada ansambel untuk beralih dari seksi yang satu ke yang lain.
Rebab (Arab: الرباب atau رباب) adalah alat musik yang berasal dari Timur Tengah dan mulai digunakan di Asia Tenggara setelah penyebaran pengaruh dari Timur Tengah.
Alat Musik Sasando
Ada beberapa jenis sasando yaitu sasando gong dan sasando biola. Sasando gong biasanya dimainkan dengan irama gong dan dinyanyikan dengan syair daerah rote untuk mengiri tari, menghibur keluarga yang berduka dan yang sedang mengadakan pesta. Bunyi sasando gong nadanya pentatonik. Sasando gong berdawai 7 (tujuh) atau 7 (tujuh) nada, kemudian berkembang menjadi 11 (sebelas) dawai. Sasando gong lebih dikenal di pulau rote.
Diperkirakan
akhir abad ke 18 sasando mengalami
perkembangan dari sasando gong ke sasando biola. Sasando biola lebih berkembang
di Kupang. Sasando biola nadanya diatonis dan bentuknya mirip sasando gong
tetapi bentuk bambu diameternya lebih besar dari sasando gong dan jumlah dawai
pada sasando biola lebih banyak, berjumlah 30 nada berkembang menjadi 32 dan 36
dawai. Sasando biola ada 2 bentuk yaitu sasando dengan bentuk ruang
resonansinya terbuat dari daun lontar/haik dan sasando biola dengan bentuk
ruang resonansinya terbuat dari bahan kayu maupun multiplex (kotak/box/peti).
Mengapa dikatakan sasando biola? Karena nada-nada yang ada pada sasando
meniru nada yang ada pada biola, pada mulanya alat penyetem dawai terbuat
dari kayu, yang harus diputar kemudian diketok untuk mengatur nada yang pas.
Sasando biola biola yang terbuat dari kotak kurang mengalami perkembangan dan
akhirnya orang lebih mengenal sasando biola dengan ruang resonansinya dari haik
(daun lontar yang dibentuk menyerupai wadah), seperti yang sering kita lihat
pada uang kertas lima ribuan emisi tahun 1992.
Saron merupakan alat musik tradisional yang berkembang di pulau Jawa. Saron
disebut juga ricik ,adalah salah satu instrumen gamelan yang termasuk keluarga
balungan. Dalam satu set gamelan biasanya mempunyai 4 saron, dan semuanya
memiliki versi pelog dan slendro. Saron menghasilkan nada satu oktaf lebih
tinggi daripada demung, dengan ukuran fisik yang lebih kecil. Tabuh saron
biasanya terbuat dari kayu, dengan bentuk seperti palu.
Cara menabuh
Saron yaitu dengan tangan kanan mengayunkan pemukulnya dan tangan kiri
melakukan “patet”, yaitu menahan getaran yang terjadi pada lembaran logam.
Dalam menabuh slenthem lebih dibutuhkan naluri atau perasaan si penabuh untuk
menghasilkan gema ataupun bentuk dengungan yang baik. Pada notasi C, D, E, G
misalnya, gema yang dihasilkan saat menabuh nada C harus hilang tepat saat nada
D ditabuh, dan begitu seterusnya.
Untuk tempo penabuhan, cara yang digunakan sama seperti halnya bila
menggunakan balungan, ricik, dan saron. Namun untuk keadaan tertentu misalnya
demung imbal, maka slenthem dimainkan untuk mengisi kekosongan antara nada
balungan yang ditabuh lambat dengan menabuh dua kali lipat ketukan balungan.
Atau bisa juga pada kondisi slenthem harus menabuh setengah kali ada balungan
karena balungan sedang ditabuh cepat, misalnya ketika gendhing Gangsaran.
Musik Kolintang, Kolintang, alat musik Minahasa
yang mendunia ,Doeloenya Penggunaan kolintang di Minahasa erat hubungannya
dengan budaya – kepercayaan rakyat Minahasa – sulawesi utara, yang
biasanya dipakai dalam upacara upacara pemujaan arwah arwah para leluhur.
Alat musik kolintang termasuk jenis instrument
perkusi ,Alat musik itu disebut kolintang karena apabila di pukul berbunyi :
Tong-Ting –Tang.
Pada mulanya kolintang hanya terdiri dari beberapa potong kayu yang diletakkan berjejer diatas kedua kaki pemain yang duduk selonjor di lantai.dan dipukul pukul.
Fungsi kaki sebagai tumpuan bilah bilah kayu(wilahan/tuts) kemudian diganti dua potong batang pisang atau dua utas tali.
Konon penggunaan peti resonator sebagai pengganti batang pisang mulai di gunakan sesudah Pangeran Diponegoro di buang ke Menado (tahun 1830) yang membawa serta “gambang” gamelannya.
Pada mulanya kolintang hanya terdiri dari beberapa potong kayu yang diletakkan berjejer diatas kedua kaki pemain yang duduk selonjor di lantai.dan dipukul pukul.
Fungsi kaki sebagai tumpuan bilah bilah kayu(wilahan/tuts) kemudian diganti dua potong batang pisang atau dua utas tali.
Konon penggunaan peti resonator sebagai pengganti batang pisang mulai di gunakan sesudah Pangeran Diponegoro di buang ke Menado (tahun 1830) yang membawa serta “gambang” gamelannya.
Penggunaan kolintang erat hubungannya dengan
kepercayaan rakyat Minahasa,yang biasanya dipakai dalam upacara upacara
pemujaan arwah arwah para leluhur.
Dengan berkembangnya agama Kristen yang di bawa oleh misionaris misionaris Belanda,eksistensi kolintang yang merupakan bagian dari kepercayaan animisme menjadi demikian terdesak bahkan hampir punah,menghilang selama lebih dari 50 tahun.
Setelah perang Dunia II,kolintang muncul kembali dipelopori oleh Nelwan Katuuk, seniman tuna netra asal Minahasa bagian utara yang merangkai nada kolintang menurut skala diatonis.
Dengan berkembangnya agama Kristen yang di bawa oleh misionaris misionaris Belanda,eksistensi kolintang yang merupakan bagian dari kepercayaan animisme menjadi demikian terdesak bahkan hampir punah,menghilang selama lebih dari 50 tahun.
Setelah perang Dunia II,kolintang muncul kembali dipelopori oleh Nelwan Katuuk, seniman tuna netra asal Minahasa bagian utara yang merangkai nada kolintang menurut skala diatonis.
Pada tahun 1952,di Minahasa bagian selatan (Ratahan)
seorang anak berusia 10 tahun , terinspirasi membuat kolintang dengan dasar
petunjuk orang orang tua yang pernah melihat kolintang dan dari mendengar suara
musik kolintang yang di populerkan lewat siaran Radio.
Sulitnya hubungan transportasi antara Minahasa bagian utara dengan Minahasa bagian selatan pada waktu itu tidak meluruhkan semangat anak tersebut untuk berkreasi tanpa melihat contoh, dengan bermodal potongan potongan kayu bakar yang diletakkan di atas dua batang pisang dan di tuning (stem) nada natural dengan rentang nada 1 oktaf.
Sulitnya hubungan transportasi antara Minahasa bagian utara dengan Minahasa bagian selatan pada waktu itu tidak meluruhkan semangat anak tersebut untuk berkreasi tanpa melihat contoh, dengan bermodal potongan potongan kayu bakar yang diletakkan di atas dua batang pisang dan di tuning (stem) nada natural dengan rentang nada 1 oktaf.
Sebuah prestasi yang luar biasa jika pada tahun
1954 ,yang kala itu masih terbilang bocah mampu membuat kolintang dua setengah
oktaf nada diatonis dengan peti resonator.Kemampuannya terus terasah dan
berkembang,terbukti pada tahun 1960 berhasil meningkatkan rentang nada menjadi tiga
setengah oktaf yang dimainkan oleh dua orang pada satu alat. [kolintang.co.id]
Alat Musik Sangka
Sangkakala atau sangka adalah sejenis alat tiup yang terbuat dari cangkang kerang. Alat tiup ini disebut sangkakala karena bernama sangka dan ditiup secara berkala atau bunyian berkala. Pada zaman dahulu sangkakala biasa digunakan dalam saat tertentu, seperti untuk meminta perhatian orang banyak, ketika hendak mulai berperang, mengumpulkan prajurit dan banyak lagi kegunaan sangkakala.
Dalam agama Hindu, sangkakala merupakan simbol kemahsyuran dan kemakmuran. Maka dari itu, ia ditiup saat berperang atau saat melangsungkan upacara keagamaan, misalnya Puja. Catatan mengenai peniupan sangkakala sebagai atribut peperangan disebutkan dalam sastra Hindu Kuno yang disebut Mahabharata. Selain itu, sangkakala menjadi atribut Dewa-Dewi tertentu, misalnya Wisnu, Laksmi, atau Ganesa.
Dalam salah satu ajaran agama Abrahamik, yaitu Islam dikatakan bahwa salah satu malaikat yang bernama Israfil mempunyai tugas untuk meniupkan Shur (sangkakala) pada saat hari akhir. Ketika Allah telah selesai menjadikan alam semesta beserta isinya, lalu Allah membuat sangkakala dan meletakkannya di mulut Israfil. Kemudian dikisahkan Israfil selalu menatap kearah 'Arsy, menanti kapan ia diperintahkan untuk meniup sangkakala tersebut.
Bentuk Shur
Disebutkan pula dalam salah satu hadist, sangkakala itu bagaikan tanduk dari cahaya, dengan ukuran yang sangat besar dengan garis tengahnya seluas langit dan bumi (alam semesta). Dalam hadist lain dikatakan sangkakala malaikat Israfil terbuat dari tanduk, “Tanduk yang ditiup.” [4]
Muhammad bersabda, "Sesungguhnya Allah menciptakan sangkalala yang mempunyai empat cabang, yaitu cabang di Barat, di Timur, di bawah langit ketujuh bagian bawah dan diatas langit ketujuh bagian atas."[5]
Didalam sangkalala terdapat pintu-pintu sebanyak bilangan ruh dialam semesta dan di dalamnya ada 70 rumah, yaitu satu antaranya untuk ruh para nabi, satu rumah untuk ruh para malaikat, satu rumah untuk ruh para jin, satu rumah untuk ruh para manusia, satu rumah untuk ruh para binatang dan hingga genap 70 macam rumah dengan 70 jenis makhluk.
Alat Musik Saron
Saron atau yang biasanya disebut juga ricik ,adalah salah satu instrumen gamelan yang termasuk keluarga balungan.
Dalam satu set gamelan biasanya mempunyai 4 saron, dan semuanya memiliki versi pelog dan slendro. Saron menghasilkan nada satu oktaf lebih tinggi daripada demung, dengan ukuran fisik yang lebih kecil. Tabuh saron biasanya terbuat dari kayu, dengan bentuk seperti palu.
Cara menabuhnya ada yang biasa sesuai nada, nada yang imbal, atau menabuh bergantian antara saron 1 dan saron 2. Cepat lambatnya dan keras lemahnya penabuhan tergantung pada komando dari kendang dan jenis gendhingnya. Pada gendhing Gangsaran yang menggambarkan kondisi peperangan misalnya, ricik ditabuh dengan keras dan cepat. Pada gendhing Gati yang bernuansa militer, ricik ditabuh lambat namun keras. Ketika mengiringi lagu ditabuh pelan.
Dalam memainkan saron, tangan kanan memukul wilahan / lembaran logam dengan tabuh, lalu tangan kiri memencet wilahan yang dipukul sebelumnya untuk menghilangkan dengungan yang tersisa dari pemukulan nada sebelumnya. Teknik ini disebut memathet (kata dasar: pathet = pencet)
Aku nanya berasal dari mana!!!!!!!
BalasHapus